Selama ini
umat Islam mayoritas, tapi minoritas yang beriman. Jadi, nggak usah pakai
standart apa-apa kalu ingin tahu kualitas orang beriman. Bisa dilihat dari
shalat Subuhnya.
Dalam keadaan
hubbud dunnya (cinta dunia) ini, seluruh aspek kehidupan mengalami krisis yang
luar biasa, politik, ekonomi, sosial, budaya. Umat islam saat ini bukannya
dalang tapi jadi wayng. Untuk mulai mengasah keimanan umat, maka kita belajar
dari metode hijrah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW ketika hijrah, pertama
yang di bangun adalah masjid. Kalau mau melangkah kebangkitan umat Islam mulai
juga dari masjid. Infrastuktur negara, politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan
militer Madinah dibangun dari masjid.
Dengan
senangnya mereka beribadah, maka akhlak mereka akan menjadi mulia. Jadi dua hal
yang dapat di bedakan, nggak dapat dipisahkan. Kata orang yang sosiolis, “Itu
hanya ritual aja.” Justru akhlak yang perdana itu, hablumminallah dan
hablumminannaas. Dengan senangnya dia beribadah, maka dia akan berakhlak mulia.
Dan, akhlak ulia itu, karena dia melakukan kesenangan ibadah.
Makanya,
kalu orang sudah khusyuk shalatnya, hal yang tidak bermanfaat dia tinggalkan,
zakat dia tunaikan, tidak mau berzina, dia jaga kehormatan dirinya, dia tepat
janji, lalu dia jaga shalat-shalatnya.
Kenapa
yang dipilih subuh?
Memulai
hari itu subuh. Dan ternyata, orang yahudi mengukurnya subuh. Kalau cara
sahabat Nabi Muhmmad untuk mengetahui orang munafik, dilihat dari subuhnya jika
dia tidak shalat. Maka dari itu, shalat yang paling berat buat orang munafik
adalah subuh dan isya. Orang yahudi itu tahu, makanya dia mengukur dari shalat
shubuh. Jika jemaah shalat shubuh umat islam sebanyak jemaah jum-nya, maka itu
tanda kebangkitan umat islam.
Karena
itu, Allah SWT menyebutkan dalam QS At-Taubah ayat 18: ”Hanya orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir itu adalah orang-orang yang memakmurkan
masjid.” Mukmin banyak di Indonesia ini, tapi mukmin yang selalu shalat shubuh
berjamaah dapat dihitung dengan jari.
Masji
itu rumah Allah. Dibandingkan, kalau itu mau masuk istana sangat susah,
penjaganya ketat. Ini umah Allah yang lebih dari pada sekedar istana, yang ada
di depan mata, tapi kenapa berat untuk melangkah. Takdir kita di tangan-nya,
hidup mati kita di tangan-nya, rezeki di tangan-nya, alangkah naif kalau kita tidak mau datang kepada-nya.
Maka itu, adzan, bukan panggilan muadzin tapi
panggilan Allah. Dan, itulah undangan yang paling sempurna. Selesai kumandang
adzan kita seraya berdoa,”Allahumma rabba hadzihidda’watittammah” inilah
undangan yang palin sempurna. Bisa dibayangkan kalau kita diundang raja, ini
yang mengundang kita Yang Merajai, yang punya langit dan bumi. Makanya yang
dipanggil yang bersyahadat, yang tidak bersyahadat tidak dipanggil. Jadi jangan
mencari dalil, pulang kerjanya larut malam, atau berangkat kerja sebelum subuh.
Kalau kita sudah niat, pasti bisa. “Man jadda wajada.”
Berkahnya
shalat shubuh. Setip pintu dijaga malaikat yang mengaminkan orang yang masuk
masjid. Allaummaftahli abwaba rahmatika, malaikat mengaminkan. Kemudian,
malaikat mengikuti dan mengaminkan doa kita di masjid, mendoakan kita selama
tidak maksiat di masjid.
Beitu
kita keluar diaminkan lagi oleh malaikat. Allahumma inni as’aluka min fadlik.
Malaikat mengaminkan lagi, Barakna haulahu. Orang yang baru keluar dari masjid,
diberkahi lagi oleh Allah, bukan hanya dia tapi siapa yang ada di dekat dia.
Misnya rezekinya, aktifitasnya, ide-idenya, perjuanganya. Apalagi, jika dia
seorang dai, dakwahnya diberkahi oleh Allah. Bila dia seorang guru, dia
berwibawa. Siapa saja, istrinya, anaknya, sahabatnya.
Makanya,
Ibnu rowahah, tokoh pemikir ekonminya Rassuullah SAW, kalau berbisnis dia bukan
bertanya berapa modalnya, tapi yang ditanya kamu shalat shubuh dimana? Karena,
beliau yakin orang yang shalat shubuh berjemaah di masjid akan membawa
keberkahan dalam bisnisnya, dalam pergaulanya, dalam persahabatanya.
Kuncinya
hanya pada azam(kemauan yang keras), nawaitu-nya harus kuat. Rebutlah hidayah
fajar itu. Masa dihidangkan oleh Allah, hidayah-rahmat, barakah, pagi-pagi
kita tidak mau.